Khansa Khalishah, Laely Wulandari, Ruli Ardiansyah

Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Korban Balas Dendam Pornografi Dengan Mempergunakan Aplikasi “Deepfake” Sebagai Kekerasan Berbasis Gender Online

Introduction

Perlindungan hukum terhadap perempuan korban balas dendam pornografi dengan mempergunakan aplikasi “deepfake” sebagai kekerasan berbasis gender online. Penelitian ini mengkaji perlindungan hukum bagi perempuan korban balas dendam pornografi deepfake sebagai kekerasan berbasis gender online, menyoroti UU terkait & hambatan penegakan.

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apa dan bagaimana bentuk dari perlindungan hukum yang diterima oleh perempuan korban balas dendam pornografi dengan mempergunakan aplikasi deepfake serta macam kendala dan hambatan yang terdapat didalam penegakannya. Jenis penelitian ini merupakan penelitian normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statue approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), dan pendekatan kasus (case approach). Hasil yang diperoleh dari penelitian tersebut adalah penyalahgunaan artificial intelligence (AI) ini mengharuskan negara untuk meningkatkan perlindungan yang diberikan pada korban dalam ranah cyber crime, oleh karena itu korban balas dendam pornografi mendapatkan beberapa macam perlindungan seperti take down, right to be forgetten, kompensasi, restitusi, dan konseling. Upaya perlindungan hukum tersebut telah diatur dalam UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, UU No. 1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, dan beberapa peraturan perundang-undangan lainnya yang memiliki keterkaitan dengan undang-undang tersebut. Namun, dalam penegakan pemberian perlindungan hukum bagi korban balas dendam pornografi, terdapat berbagai macam hambatan dan kendala yang berdampak pada berkurangnya efektivitas perlindungan yang diberikan. Kendala tersebut berupa kurangnya kesadaran masyarakat akan berita-berita hoaks yang tersebar, sulitnya pembuktian dari penanganan kasus ini dikarenakan canggihnya teknologi di era 5.0, serta hambatan paling berarti adalah budaya patriarki dan victim blaming yang memojokan korban sehingga mengakibatkan adanya ketakutan dalam diri korban untuk menindak lanjuti peristiwa yang menimpanya.

Review

This paper addresses the critical and timely issue of legal protection for women victims of deepfake revenge pornography, framed as online gender-based violence. The title clearly defines the scope, and the abstract articulates the research's twin objectives: to identify the forms of legal protection available to these victims and to elucidate the obstacles encountered in the enforcement of such protections. Given the rapid advancements in AI technologies like deepfake and the increasing prevalence of online gender-based violence, this research is highly relevant and contributes significantly to understanding the challenges at the intersection of technology, law, and social norms in the digital age. The methodology employed is normative research, utilizing statutory, conceptual, and case approaches, which are appropriate for analyzing legal frameworks and their application. The findings indicate that the misuse of AI necessitates enhanced state protection for victims in the cybercrime domain. Specifically, the study identifies several forms of protection, including take-down mechanisms, the right to be forgotten, compensation, restitution, and counseling, all anchored in relevant Indonesian legislation such as UU No. 12/2022 on Sexual Violence, UU No. 1/2024 on Information and Electronic Transactions, and UU No. 44/2008 on Pornography. This thorough mapping of legal provisions provides a valuable overview of the existing protective landscape. However, the paper astutely highlights significant barriers to the effective implementation of these protections. These obstacles range from a general lack of public awareness regarding online hoaxes and the inherent difficulties in proving cases due to sophisticated technology, to the more profound societal impediments of patriarchal culture and victim-blaming. The latter, in particular, is identified as a critical factor that marginalizes victims and instills fear, deterring them from pursuing legal action. This comprehensive identification of both legal provisions and their practical limitations makes the study a valuable contribution, providing a foundation for future policy recommendations aimed at strengthening legal efficacy and addressing underlying social issues to better support victims.

Full Text

Comments

You need to be logged in to post a comment.